Minggu, 03 Juli 2011

KAWASAN BALATENTARA KERAJAAN DEMAK DAN KISAH SI PITUNG


REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta - Panas, gersang dan berdebu, begitulah kira-kira gambaran kampung marunda sekarang ini. Kawasan yang berlokasi di utara Jakarta ini seolah tak terawat. Perluasan pembangunan Tanjung Priok dan berjejernya kapal-kapal besar tidak memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan marunda.


Padahal kawasan ini merupakan saksi bisu perjuangan hebat balatentara kerajaan demak hingga kisah heroik rakyat marunda melawan penjajah Belanda.

Hikayat kisah perjuangan dimulai, ketika kampung marunda di jadikan markas balatentara Islam Mataram ketika menyerang Batavia (1628-1629). Bahkan di tempat ini, terdapat Masjid Al-Alam, sebuah masjid yang konon dibangun oleh pasukan Falatehan ketika mengusir Portugis dari Sunda Kalapa pada tahun 1527. Ada keyakinan masyarakat di sini,   bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari.

Arsitektur masjid merupakan paduan antara gaya Jawa, Arab dan Eropa. Gaya Jawa jelas terlihat pada atapnya yang merupakan atap joglo bertingkat dua.

Bagian masjid paling unik terletak di ruangan dalam. Di tempat ini terdapat empat pilar batu berlapis semen penyangga atap. Tiang-tiang bulat berhias garis-garis cekungan vertikal itu berukuran pendek sehingga berbentuk seperti kaki bidak-bidak catur.

Ukuran masjid terbilang kecil. Bangunan utama hanya berukuran 8 meter x 8 meter  dengan ruang dalam yang cuma bisa menampung sekitar 100 orang. Tempat berwudu yang awalnya terletak di dekat sumur, di halaman depan masjid, kini berada di bangunan baru di halaman samping agak ke belakang.

Enam tahun lalu, halaman depan seluas sekitar 200 meter persegi dilapis keramik merah bata. Pada waktu itu pula, di sisi kiri masjid tua itu pun didirikan bangunan tambahan berupa pendopo berukuran 10 meter x 10 meter.

Sekitar seabad kemudian, tokoh pahlawan Betawi, Si Pitung, konon sering ikut shalat di masjid Al-Alam. Masjid itu terletak tidak jauh dari rumah di Marunda yang pernah ia tinggali. Rumah itu kini juga menjadi bangunan cagar budaya. Hingga kini masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi, selalu diziarahi para jamaah dari berbagai daerah di nusantara.
Redaktur: Sadly Rachman
Reporter: Agung Sasongko

STMIK AMIKOM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar